Sumber
Informasi :
http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2010/05/03/perencanaan-partisipatif/
Perencanaan
Sebelum masuk
dalam pembahasan perencanaan partisipatif ada baiknya jika kita menyimak mode
perencanaan yang ada, diantanranya model perencanaan bersifat Top Down dan
Bottom Up.
Perencanaan
dengan model Top Down ini dilaksanakan oleh sekelompok elit politik, melibatkan
lebih banyak teknokrat, mengandalkan otoritas & diskresi. Adapun argumentasi
top-down adalah:
- Efisiensi
- Penegakan aturan (enforcement)
- Konsistensi input-target-output
- Publik/masyarakat masih sulit dilibatkan
Perencanaan
dengan model Bottom Up ini dilaksanakan secara kolektif, melibatkan unsur-unsur
governance,mengandalkan persuasi, co-production. Dan argumentasi
bottom-up adalah:
- Efektivitas
- Kinerja (performance, outcome),bukan sekadar hasil seketika
- Social virtue (kearifan sosial)
- Masyarakat diasumsikan sudah paham hak-hak dan apa yang mereka butuhkan.
Partisipasi
Istilah Partisipasi
menurut Mikkelsen biasanya digunakan di masyarakat dalam berbagai makna
umum, diantaranya: (2005, 53-54)
- Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu proyek (pembangunan), tetapi tanpa mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
- Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi lebih peka dalam rangka menerima dan merespons berbagai proyek pembangunan.
- Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun kelompok yang sedang ditanyakan mengambil inisiatif dan mempunyai otonomi untuk melakukan hal itu.
- Partisipasi adalah proses menjembatani dialog antara komunitas lokal dan pihak penyelenggara proyek dalam rangka persiapan, pengimplenetasian, pemantauan dan pengevaluasian staf agar dapat memperoleh informasi tentang konteks sosial maupun dampak sosial proyek terhadap masyarakat.
- Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam perubahan yang ditentukan sendiri oleh masyarakat.
- Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan lingkungan, kehidupan dan diri mereka sendiri.
Tiga bentuk
partisipasi (Chambers dalam Mikkelsen, 2005, 54):
1.
Cosmetic Label
Sering
digunakan agar proyek yang diusulkan terlihat lebih cantik sehinga lembaga
donor maupun pihak pemerintah akan mau membiayai proyek tersebut.
2.
Coopting Practice
Digunakan untuk
memobilisasi tenaga-tenaga di tingkat lokal dan mengurangi pembiayaan pryek.
3.
Empowering Process
Dimaknai
sebagai suatu proses yang memampukan masyarakat lokal untuk melakukan analisis
masalah mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa percaya
diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri tentang alternatif
pemecahan masalah apa yang ingin mereka pilih.
Perencanaan
Partisipatif
Perencanaan
partisipatif mulai dikenal secara luas sejak munculnya metode partisipatif yang
biasa disebut Participatory Rural Appraisal. Metode ini menekankan adanya peran
serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan (penyelesaian
masalah) mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifkasian masalah sampai pada
penentuan skala prioritas.
Perencanaan
partisipatif saat ini mulai merambah ke tingkat makro atau lebih pada
pengembangan kebijakan, biasanya kegiatan ini lebih banyak dilakukan oleh
Lembaga Non Pemerintah (NGO’s). Selain itu perencanaan partisipatif banyak
dilakukan di tingkat mikro seperti pada tingkat masyarakat maupun di tingkat
individu.
Secara garis
besar perencanaan partisipatif mengandung makna adanya keikutsertaan masyarakat
dalam proses perencanaan pembangunan, mulai dari melakukan analisis masalah
mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa percaya diri
untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri tentang alternatif
pemecahan masalah apa yang ingin mereka atasi.
Tiga alasan
utama mengapa perencanaan partisipatif dibutuhkan, yaitu (Conyers, 1991,
154-155)
- Alasan pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhandan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
- Alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai kegiatan atau proram pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program tersebut.
- Alasan ketiga adalah karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan.
Alasan lainnya dikemukakan
oleh Amartya Sen dimana Ia mengemukana ada 3 alasan mengapa harus ada demokasi
dan Perencanaan Partisipatif (Amartya Sen, 1999:148)
- Demokrasi dan partisipasi sangat penting peranannya dalam pengembangan kemampuan dasar.
- Instrumental role untuk memastikan bahwa rakyat bisa mengungkapkan dan mendukung klaim atas hak-hak mereka, di bidang politik maupun ekonomi
- Constructive role dalam merumuskan “kebutuhan” rakyat dalam konteks sosial.
Sejarah
Partisitasi dalam Pembangunan
Pada tahun
1960-an, yang dimaksud dengan partisipasi adalah adanya transfer atau alih
pengetahuan atau teknologi dari luar untuk menjadikan orang atau masyarakat
mampu menolong dirinya sendiri.
Pada tahun
1970-an Partisipasi lebih dikenal sebagai usaha untuk mengentaskan kemiskinan
dan berkaitan dengan kases terhadap sumber-sumber pembangunan. Ada 3 perspektif
besar:
- Masyarakat berpartisipasi sebagai pihak yang menerima manfaat dari pembangunan. Partisipasi dilakukan untuk masyarakat, umumnya masyarakat diundang untuk ditanyakan apa kebutuhan mereka yang nantinya akan dimasukkan dalam program pembangunan.
- Partisipasi dilihat sebagai suatu proses dan di kendalikan oleh orang-orang yang mengenalikan pembangunan. Partisipasi ini berkaitan pula dengan demokrasi dan keadilan.
- Partisipasi melibatkan bekerja dengan masyarakat daripada bekerja untuk mereka. Partisipasi bentuk ini lebih melihat hubungan antara pelaksana pembangunan dan pemanfaan hasil pembangunan.
Pada tahun
1980-an Partisipasi dikenal dengan istilah Proyek dalam Masyarakat, dan ini
menyebabkan semakin dikenalnya partisipasi sebagai suatu pendekatan dalam
proyek-proyek dan program-program pembangunan. Terdapat 2 paradigma yang
berkembang saat ini, yaitu:
- Metode yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga seperti Stakeholder analysis, social analysis, beneficiary assessment, logical framework analysis. Semua ini merupakan toolkits yang diterapkan oleh perencana sosial untuk mempromosikan partisipasi ditingkat pemangku kepentingan dalam melakukan pengidentifikasian di tingkat awal.
- Metode-metode yang dipromosikan oleh pengembang metode partisipatori seperti PRA, Rapid Rural Appraisal, Partisipatory Learning and Action, Partisipatory Appraisal and Learning Methods dan sebagainya yang memungkina masyarakat untuk berbagi, mengenal dan menganalisa pengetahuan yang mereka miliki serta kondisi mereka dan melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Pada tahun
1990-an Partisipasi lebih dilihat sebagai kemitraan, koordinasi atau
kepemilikan dari program dan adanya fungsi kontrol/ kendali dari masyarakat itu
sendii terhadap sumber daya yang mereka miliki. Pada dekade ini mulai ada
perubahan paradigma mengenai apa yang disebut masyarakat, mulai ada perubahan
dari penerima manfaat dari pembangunan kepada pemangku kepentingan, dengan
asumsi kalau masyarakat disebut sebagai penerima manfaat sifatnya lebih pasif
dibandingkan dengan masyarakat sebagai pemangku kepentingan.
Pada tahun
2000-an Partisipasi mulai berubah yang dahulu hanya berkisar pada lingkungan
mikro saat ini mulai merambah ke tataran makro, dengan adanya partisipasi dalam
penentuan atau pembentukan kebijakan.
Tipologi
Partisipasi Masyarakat atau Individu :
Passive
Participation, masyarakat
berpartisipasi karena memang diharuskan untuk ikut serta dalam proses
pembangunan, tanpa ada kemampuan untuk merubah.
Participation
in information giving, partisipasi masyarakat hanya sebatas memberikan
informasi yang dibutuhkan oleh perencana pembangunan dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Namun masyarakat tidak punya kemampuan untuk
mempengaruhi mempengaruhi dalam pembuatan pertanyaan, dan tidak ada kesempatan
untuk mencek ketepatan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
Participation
by consultation, partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk konsultasi, ada pihak luar
sebagai pendengar yang berusaha mendefinisikan permasalahan yang dihadapi
masyarakat dan merumuskan solusinya. Dalam proses konsultasi ini tidak ada
pembagian dalam penentuan keputusan, semua dikerjakan oleh pihak luar yang
diberi mandat untuk mngerjakan ini.
Participation
for material incentives, partisipasi ini lebih pada masyarakat memberikan sumber
daya yang mereka punya seperti tenaga dan tanah, kemudian akan diganti dalam
bentuk makanan, uang, atau penggantian dalam bentuk materi lainnya.
Functional participation, partisipasi
masyarakat terjadi dengan membentuk kelompok-kelompok atau kepanitiaan yang
diprakarsai/ didorong oleh pihak luar.
Interactive
participation, masyarakat
dilibatkan dalam menganalisis dan perencanaan pembangunan. Dalam tipe partisipasi
ini, kelompok mungkin saja dapat dibentuk bersama-sama dengan lembaga donor dan
mempunyai tugas untuk mengendalikan dan memutuskan semua permasalahan yang
terjadi di tingkat lokal.
Self-mobilization, masyarakat
secara mandiri berinisiatif untuk melakukan pembangunan tanpa ada campur tangan
dari pihak luar, kalau pun ada, peran pihak luar hanya sebatas membantu dalam
penyusunan kerangka kerja. Mereka mempunyai fungsi kontrol penuh terhadap
sumber daya yang akan digunakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakatnya.
Catalysing
change, Partisipasi
dengan membentuk agen perubah dalam masyarakat yang nantinya dapat mengajak
atau mempengaruhi masyarakatnya untuk melakukan perubahan.
Optimum
Participation, lebih
memfokuskan pada konteks dan tujuan dari pembangunan dan itu akan turut
menetukan bentuk dari partisipasi yang akan dipergunakan. Partisipasi akan
optimal jika turut memperhatikan secara detail pada siapa yang akan
berpartisipasi karena tidak semua orang dapat berpartisipasi, dan dengan metode
ini pula dapat membantu menentukan strategi yang optimal dalam pembangunan.
Manipulation, ada sejumlah
partisipasi namun tidak memiliki kekuasaan yang nyata, masyarakat membentuk
suatu kelompok atau kepanitiaan namun tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan
arah pembangunan.
Permasalahan
dalam Perencanaan Partisipatif.
- Keterlibatan masyarakat akan terjadi secara sukarela jika perencanaan dilakukan secara desentralisasi, dan kegiatan pembangunan selalu diarahkan pada keadaan atau kepentingan masyarakat. Jika hal ini tidak terjadi maka partisipasi masyarakat akan sulit terjadi karena masyarakat tidak akan berpartisipasi jika kegiatan dirasa tidak menarik minat mereka atau partisipasi mereka tidak berpengaruh pada rencana akhir.
- Partisipasi akan sulit terjadi apabila di dalam suatu masyarakat tidak mengetahui atau tidak mempunyai gagasan mengenai rangkaian pilihan yang seharusnya mereka pilih, maka tidak mengherankan apabila masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, sering meminta hal-hal yang tidak mungkin atau hal lain yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan mereka. Jadi ada kemungkinan skala prioritas akan berbeda antara pihak pemerintah dan masyarakat.
- Batasan dari wilayah kerja dapat menjadi permasalahan, hal ini berkaitan dengan batas wilayah administratif atau batas wilayah komunitas (adat). Terkadang masyarakat yang akan dibina dibatasi oleh wilayah administratif (negara), namun pada kenyataannya masyarakat yang akan dibina mempunyai suatu ikatan (batasan adat) lain yang turut menetukan luas wilayah mereka. Hal ini berkaitan dengan penentuan wilayah kerja dan pelibatan partisipasi masyarakat.
- Permasalah lain adalah berkaitan dengan perwakilan yang ditunjuk, terkadang wakil masyarakat yang ditunjuk sebagai penentu kebijakan atau dalam pembuatan perencanaan sosial tidak mengakomodir elemen-elemen yang ada di dalam masyarakat, perlu diingat bahwa masyarakat tidak selalu homogen. Maka akan ada potensi konflik apabila perwakilan yang ditunjuk tidak mengakomodir kepentingan masyarakat.
- Adanya kesenjangan komunikasi antara perencana sosial dengan petugas lapangan yang bertugas mengumpulkan informasi guna penyusunan perencanaan sosial. Ada usaha untuk melibatkan masyarakay lokal dalam pengumpulan informasi namun tingkat kemampuan masyarakat lokal beragam dan terkadang tidak sesuai dengan harapan para perencana.
- Tidak terpenuhinya harapan juga turut menghambat adanya partisipasi msyarakat, seperti tidak berpengaruhnya partisipasi mereka terhadap hasil pembangunan, adanya ekspektasi yang berlebih dari masyarakat yang tidak terpenuhi, atau bahkan pelaksanaan tidak sesuai dengan perencanaan yang telah disusun secara bersama.
- Permasalah lain yang berkaitan dengan perencanaan partisipatif adalah adanya anggapan bahwa perencanaan partisipatif adalah suatu kegiatan yang tidak efektif dan membuang-buang waktu. Memang perencanaan partisipatif bukanlah suatu perkara yang mudah, karena melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan membutuhkan waktu, uang dan tenaga yang tidak sedikit. Perencanaan partisipatif pun membutuhkan kapasitas organisasi yang tidak kecil.
- Ada konflik yang timbul antara kepentingan daerah atau lokal dengan kepentingan nasional. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang, disatu sisi pemerintah pusat memandang bahwa hal tertentu merupakan prioritas utama, namun disatu sisi pemerintah daerah atau masyarakat hal tersebut bukanlah prioritas utama.
Daftar
Referensi
Adi, Isbandi
Rukminto. (2008). Intervensi Komunitas: Pengembangan Masyarakat sebagai
Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Cet 1. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Conyers, Diana.
(1991). Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Ed 2.
(Penerjemah: Susetiawan). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Mikkelsen,
Britha. (2005) Methods for Development Work and Research: A New Guide for
Practitioners. 2nd Ed. California: Sage Publication
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.